Mr. Sunshine Episode 2 Part 2 ~ by2206am

Mr. Sunshine Episode 2 Part 2 ~ by2206am


Di tengah keramaian terlihat bocah kecil berteriak sembari membagikan selebaran koran edisi khusus. Il Sik yang buta huruf dengan penuh gaya mengambil satu koran, “Apa yang terjadi ? Kesepakatan lain ?”, tanyanya sok tahu.


Choon Shik tampak tertarik, ia merebut lembaran itu lalu mendengus iba menatap Il Sik yang bahkan tak menyadari jika sedari tadi dirinya melihat isi koran dengan posisi terbalik.

(Surat kabar independensi)
(Sabtu, 19 Februari 1898)

“Kedengarannya Amerika dan Spanyol sedang berperang”, beritahu Choon Shik.

“Amerika ? Apa itu ?”


Choon Shik sontak menoleh,“Lalu apa yang kau pikirkan tentang Spanyol ?”

“Apa ada seseorang yang kau kenal ?”, jawab polos Il Sik membuat Choon Shik menghela nafas berusaha tegar menghadapi kebodohan sahabatnya.


Pertempuran El Caney (Amerika - Spanyol)
19 Februari 1898


Bom meriam meluluh lantahkan area pertempuran. Dua kubu tentara saling menyerang mempertahankan kehormatan, terlihat Eugene berlarian di antara kerumunan. 


Kyle terdesak di dalam parit, tangan dan kakinya terluka parah, beruntung Eugene datang menyelamatkan sebelum nyawanya melayang.


(Adegan beralih ke episode 1)


Eugene membaca kumpulan laporan dari Laksamana John Rodgers. Matanya menatap sekilas foto – foto rakyat Joseon yang terjejer di meja. Ia mengambil dan mengamati foto yang memuat wajah Wan Ik. Pandangannya beralih, ia lanjut meraih sebuah peta.


“Itu peta ?”, tanya Kyle yang baru masuk ruangan.

“Tempatnya disini. Dari sanalah aku berasal”


“Hmm, jika kau pergi ke Joseon, akan ada banyak orang yang mirip denganmu”, simpul Kyle yang lanjut menyodorkan foto.


“Dia Logan Taylor yang bekerja sebagai kedutaan Amerika di Jepang..”

“Sekarang dia di Joseon bekerja sebagai penasihat urusan luar negeri, menjual semua jenis informasi ke Jepang..”

“Menodai nama baik Amerika”

Eugene diam lama tak menjawab, Kyle bertanya apa yang dia pikirkan.


“Jika aku berhasil melakukan operasi pelenyapan ini, semua keuntungan masuk ke Amerika..”

“Tapi jika aku gagal, kesalahan akan di bangun di Joseon. Itu sebabnya mereka memilihku bukan ?”, tanya yakin Eugene.

Kyle meyakinkan jika Eugene tak akan pernah gagal.


“Ada permintaan yang lain ?”, tawar Eugene.

Kyle hanya menyuruhnya berkemas untuk segera berangkat menuju Hanseong.


Eugene mulai mengepak semua barang yang diperlukan, saat membuka almari meja terlihat hiasan Ho Sun yang masih ia tersimpan. Eugene fokus menatap benda itu hingga ketukan pintu membuatnya kembali tersadar.


Takashi Mori muncul menyapa sambil menyenderkan tubuh di pintu kamar yang terbuka, dengan menggunakan bahasa inggris dia berbosa – basi membahas peperangan di Spanyol.


“Bahasa Inggrismu belum lancar – lancar juga”, ejek Eugene membuat temannya tertawa.

Takashi Mori berjalan mendekat ia beralasan jika hal itu wajar mengingat dirinya bukanlah warga Amerika, “Kudengar kau dipindahkan lagi. Kali ini ke Joseon..”

“..Ada lebih banyak mahasiswa Joseon di New York daripada sebelumnya..”

“..Kehidupan di Joseon pasti membaik”

“Mungkin mereka tidak ingin terisolasi. Kupikir kau akan segera kembali ke negaramu”, ucap Eugene.


Takashi membenarkan, “Eugene, Jepang dan Joseon sangat dekat. Ketika aku pulang ke rrumah kau harus mengunjungiku di Tokyo..”

“Di Jepang ada banyak hal yang tidak bisa kau temukan di Joseon”


Eugene yang masih sibuk berkemas tersenyum mendengar perkataan temannya, “Kau bisa membawa barang – barang itu ke Hanseong. Akan aku belikan minuman jika kau kesana”

Takashi mengingatkan agar Eugene memegang kata – katanya.


Di remang kegelapan, Eugene berjalan melewati toko musik tua. Ia terus melangkahkan kaki hingga melintasi jembatan megah kota New York, dan bayangannya pun perlahan mulai tak tampak.


1902
Tahun Ke-6 Reformasi Gwangmu


Ae Shin yang tengah berjalan memakai jubah tiba – tiba disapa oleh seorang wanita berseragam sekolah, “Putri Ae Shin. Putri, kau tidak mengingatku ? Aku selalu ke tempat tinggalmu dengan membawa beberapa kain”


Ae Shin lupa, ia berusaha mengingat tapi tetap kesulitan. Beruntung bu Haman yang ada di sampingnya langsung menimpali antusias, “Aigoo.. Benar aku ingat. Tuan Putri dia Nam Jong. Ayahnya seorang pedagang kain”

“Oo.. Aa.. Kau semakin dewasa sampai aku tidak mengenalimu. Baiklah, berapa umurmu sekarang ?”


“Aku dua tahun lebih tua darimu putri”

Ae Shin tertawa canggung.


“Ngomong – ngomong kau sedang apa dengan orang asing ini ? Kau masuk ke sekolah baru ?”, tanya bu Haman.

Nam Jong membenarkan, ia menambahkan jika dirinya kini tengah belajar bahasa Inggris, sementara orang barat di samping dia inilah guru pengajarnya.


Dengan menggunakan bahasa Inggris dua orang itu bercakap membahas Ae Shin, “Apa dia temanmu ?”

“Oh bukan, dia keluarga bangsawan”, beritahu Nam Jong. Ae Shin dan bu Haman hanya menyimak dalam kebingungan.


“Senang bertemu denganmu”, ucap sang guru. Nam Jong pun mengartikan.

Ae Shin mengangguk, ia mencoba bertanya dengan perkataan sepelan mungkin, “Jadi bahasa itu.....apa ada manfaat dari hal yang kau ajarkan ? Apa untuk mendapatkan gelar ?”


Nam Jong berusaha menterjemahkan tapi tak bisa, “She said ...”


Ia berbalik menghadap Ae Shin, “Aku belum belajar kata – kata yang sulit seperti itu..”

“Jadi aku tidak bisa menterjemahkan pertanyaan anda..”

“Tapi bagiku, aku tidak belajar bahasa Inggris demi mendapat gelar..”

“Aku belajar untuk love. Aku tidak terlalu peduli dengan sebuah gelar tapi aku menginginkan love”, pertegas Nam Jong malu – malu. 


Guru mengingatkan jika sedari tadi murid – muridnya yang lain tengah menunggu lama di belakang. Nam Jong terhenyak karena baru sadar, ia meminta maaf lalu bergegas pergi.


Di ruang ganti Ae Shin bertanya – tanya, “Jika dia menginginkan lebih dari satu gelar pasti akan menjadi sesuatu yang lebih baik”

Bu Haman memperingatkan Ae Shin yang tampak tertarik agar membuang jauh – jauh pikirannya untuk memasuki sekolah baru. 


Ae Shin penasaran, ia berulang kali menggumamkan kata love.



Eugene yang baru turun dari becak melangkah memasuki Glory Hotel. Di dalam Logan Taylor duduk berbincang dengan menggunakan bahasa Jepang dengan Menteri Lee, “Persiapan sudah berjalan tanpa hambatan. Besok semua lampu jalanan di Jongno akhirnya akan dinyalakan..”


“Teknologi Amerika membawa cahaya ke Joseon. Joseon harus berterimakasih kepada Amerika”

Menteri Lee sependapat, “Aku akan membelikanmu minuman untuk mengucapkan terima kasih atas nama Joseon”, jawabnya yang lanjut berbisik.


“Bagaimana dengan di Hwawollu ?”

“Kudengar geisha di sana luar biasa”, beritahu Logan.

Menteri Lee mengajak penghianat itu pergi ke sana memastikan karena melihat berarti percaya. 

Sedari tadi Eugene menguping, ia menuliskan kata ‘Hwawollu’ di buku bacaannya.


Hwawollu


Kedatangan Logan disambut beberapa geisha untuk di bawa ke hadapan Menteri Lee yang ternyata sudah tiba lebih awal.


Terdengar suara bising dari luar, Logan menjelaskan, “Kau dengar itu ? Itu suara generator yang menyala. Semua ini berkat kebijaksanaan orang Amerika”


Logan terbatuk, Chieko berfikir mungkin karena asap di meja makan, “Aku akan membuka pintunya”.


Terlihat Ae Shin berpakaian hitam bersiap membidik. 

Pelatuk belum di tarik, tapi Logan sudah tumbang dengan seusang peluru menembus tengkorak kepala.


Ae Shin mengedarkan pandangan, ia mendapati seorang penembak lain dan langsung mengejarnya dari atap ke atap setelah membunuh beberapa anggota Musin yang mulai berpencar memburu sumber kekacauan. 


Ae Shin menghadang jalur pelarian. Dalam keheningan, mereka saling menodongkan laras panjang dengan pemikiran masing – masing.


“Satu target”

“Dua penembak jitu”

“Teman ?”, batin Ae Shin.

Pertemuan yang sangat singkat karena mereka segera berlari berlawanan arah menyadari ancaman besar mengintai dari bawah.


Penduduk setempat berkumpul, di dalam kerumunan tampak dua orang ajeossi yang berbincang di tengah kedinginan, “Kau tadi mendengar bunyi aneh itu ? Terdengar seperti suara tembakan bukan ?”

“Tidak mungkin. Bukankah itu suara generator ?”


“Bukan ? Berarti aku salah”

Dua orang itu mengeluhkan tubuhnya yang bisa mati beku karena aliran listrik yang masih padam.


Ae Shin dan Eugene bersinggungan jalan, lagi – lagi mereka berbicara dengan pemikiran yang seolah saling besahutan.

“Aroma bubuk mesiu”

“Barusan”

“Pria itu”

“Wanita itu? Seorang wanita ?”


Rasa penasaran membuat mereka berbalik bertatap muka dari kejauhan dalam waktu yang cukup lama hingga lampu jalanan menyala menyorot memperjelas wajah keduanya.


Kereta melintas di antara kedua tatapan. Ae Shin masih tak bisa melepaskan pandangan hingga Eugene tiba – tiba menghilang.


Ae Shin berusaha menajamkan penglihatan mencari keberadaannya di antara keramaian. Tapi ia harus bergegas mempercepat langkah setelah menyadari pasukan musuh yang menyibak lalu lalang berjalan makin mendekat ke arahnya.