Mr. Sunshine Episode 3 Part 3 ~ by2206am

Mr. Sunshine Episode 3 Part 3 ~ by2206am


Eugene ternyata kembali melamun di sungai itu. Hong Pa dari belakang bertanya apa mungkin Eugene membutuhkan perahu.

Eugene berbalik, orang pertama yang ia lihat adalah Ae Shin. Hong Pa ingat jika Eugene pernah mendatangi kedainya.

Hong Pa bergegas mempersiapkan perahu.


Ae Shin masih bersikap ketus, “Sedang apa kau disini ? Kau mengikutiku ?”

“Siapa pun bisa melihat kau yang berdiri di belakangku”

Ae Shin diam, ia sadar telah salah bicara.


Eugene meminta Hong Pa mencarikannya tukang sampan karena ia mau ke tempat pembakaran.

“Ada urusan apa di sana ?..”

“..Nona Ae Shin silahkan”

“Aku sedang mencari perajin..”

“..Ini dari ingatan lama, jadi aku sebenarnya masih ragu..”

“..Tapi dia pernah meninggalkan dermaga ini dengan sampan”

Hong Pa mentertawai kisah Eugene, “Tinggalkan namamu di kedai..”

“..Kau boleh datang lagi saat akan melupakannya”

“Kenapa begitu ?”


Hong Pa menahan jawaban, ia menuntun Ae Shin naik perahu, “Belum dengar rumor tentang Hwang Eun San ?..”

“..Orang Jepang, orang Barat sampai kaum bangsawan..”

“..Pulang bertangan kosong setelah menunggu tiga bulan di kedai untuk mendapat guci keramik putih buatannya..”

“..Tapi berkat dia, aku mendapat nafkah”.

Perahu sudah siap dayung, Hong Pa menyudahi percakapan.


Eugene kembali bertanya, “Nama perajin itu Hwang Eun San ?”

Hong Pa heran, “Kau mau membeli keramik tanpa tahu nama pembuatnya ?”


“Dia bahkan tidak mengenalku..”

“..Jelas dia tidak akan tahu Hwang Eun San”, sahut Ae Shin


Seketika suasana hening. Ae Shin bertanya apa Eugene bisa mendayung perahu.

“Aku punya pengalaman dengan banyak perahu pada berbagai aspek”

Hong Pa gelagapan karena Ae Shin ternyata mengenal Eugene padahal selama ini ia selalu berbicara kasar dengannya. Hong Pa sontak berubah sikap, “Jangan lupa ambil kembalianmu untuk baeksuk yang kau makan”


Sesaat kemudian Ae Shin dan Eugene sudah berada di tengah sungai. Eugene memulai pembicaraan, “Aku berutang padamu”

“Bayarlah !”

“Baik jika sempat”


Ae Shin berkata jika Eugene akan selalu memiliki kesempatan jika punya niatan untuk membayar.


“Kenapa pergi ke pembakaran ?”, tanya Eugene.

“Belum selesai mengintrogasiku ? Itu bukan urusan orang asing”


Di pembakaran, Eun San ditemani pekerja muda memeriksa hasil guci yang baru jadi. Eun San berulang kali melontarkan pujian, “Astaga indahnya..”

“..Ah..Yang ini sangat cantik..”

“..Yang ini begitu elegan”


Ko menahan guci barusan agar tidak dikelompokkan ke dalam jejeran guci siap jual, “Ini tidak bisa dijual guru..”

“..Ada retak disini”


Eun San langsung memukul kepalanya dengan cerutu, “Jangan berisik, bodoh..”

“..Banyak orang meminta keramikku”

Ko kekeh, “Tidak bisa guru..”

“...Menjual keramik seperti ini akan merusak repotasi Guru. Mengerti ?”

Eun San memukulkan cerutunya lagi, ia tidak terima digurui, “Dengar bodoh. Kau hanya perlu tutup mulut”


Eun San mengelus guci, “Ini hanya retak alami jadi retakan ini bagian dari seniku..”

“..Lepaskan bodoh”


“Apa yang akan guru lakukan agar mereka tidak cerita ?”, tanya Ko setelah menyadari kehadiran Ae Shin dan Eugene yang ternyata sudah lama berdiri mematung di halaman menyimak segalanya.


Eun San gugup, ia kemudian berjalan menghampiri dua tamunya diikuti Ko, “Kurasa nona Ae Shin adalah orang yang berhati – hati..”

“..dan pemuda ini sepertinya pendiam..”

“..Tidak ada yang perlu kucemaskan selama kalian tutup mulut. Apa masalahnya ?”


Ko mengabaikan, ia memilih meminta maaf pada Ae Shin karena masih belum menyiapkan pesanan.

“Aku sudah terbiasa tidak perlu dipikirkan”

Ko bergegas mengumpulkan kendi yang akan dibawa Ae Shin.


Eun San berdehem, “Nona Ae Shin aku tahu alasan kedatanganmu..”

“..Tapi pria yang sepertinya telah menerima kebudayaan barat ini kenapa dia datang ?..”

“..Hong Pa pasti punya alasan menyuruhnya kemari”

Eugene tersenyum, sekelebat ingatan masa kecilnya terputar.

Flashback

Yoo Jin berniat memberikan ornamen Ho Sun namun Eun San menolak dan langsung memasukkannya ke dalam pakaian Yoo Jin

“Terima kasih tuan, terima kasih banyak”

“Hentikan omong kosongmu dan hiduplah serta pergilah ke Amerika”

Flashback End

Eugene mengatakan jika ia tukang sampan Ae Shin.

“Tukang sampan ? Lalu bukankah kau harus menjaga sampanmu ? Kenapa kau ikut kemari ?”

“Aku datang menemui seorang perajin yang luar biasa..”

“..Tapi kurasa dia tidak ada”


Eun San mentertawai lelucon Eugene sampai akhirnya Eugene berkata jika Eun San masih belum terlalu tua.

“Apa maksud perkataanmu barusan ? Apa aku mengenalmu tuan ?”


“Anda orang yang aneh. Barusan kasar kepadaku. Lalu kenapa tiba – tiba jadi sopan ?..”

“..Kurasa kini anda tahu aku bukan orang yang bisa diremehkan”


Eun San tersinggung, “Apa ? Astaga dari mana asal pemuda ini ?..”

“..Kenapa nona bawa si kurang ajar...”

Ae Shin tersenyum sepintas ia lalu menyela menyampaikan salam penembak Jang untuk Eun San.


Eun San menggerutu ia menganggap Seung Goo tidak sopan karena selalu menitipkan salam tanpa mengunjunginya.


“Setidaknya dia mengirimkan salam karena menganggap anda kawan”


“Kau salah paham nona. Dulu ayah Seung Goo dan aku berteman..”

Ae Shin bosan mendengar cerita berulang Eun San.


“Omong – omong kenapa barusan kau menyeringai di situ anak muda ?..”

“..Jika ada yang lucu ceritakan saja agar kita tertawa bersama”

“Anda memarahiku karena tidak mampu melawan bangsawan wanita ? Dasar picik !”, ejek Eugene

Eugene lanjut meminta diambilkan guci yang tidak retak.


Eun San yang merasa terhina membentak ketus, “Tidak dijual !..”

“..Ada daftar tunggu dari seluruh dunia..”

“..Yang dengan senang hati membeli guci retak”.

Eun San meneriaki nama muridnya agar lekas membawa barang pesanan, “Hei Ko ! Kenapa kau lama sekali ?..”

“..Cepat kemari. Aku mau orang – orang ini pergi..”

“..Cepat bawakan !”


Eun San sudah tidak tahan lagi dengan dua tamunya. Sebelum meninggalkan mereka, ia meludah di depan Ae Shin untuk membuktikan jika dirinya bisa bersikap kejam pada wanita. Eugene tersenyum di atas keterbelalakan Ae Shin.


Sepeninggalan Eun San, Eugene berjalan pilu menuju kotak jerami yang pernah menjadi tempat persembunyiannya. Ae Shin memperhatikan penuh keheranan.


Ae Shin sudah mendapat guci yang diinginkan. Dalam perjalanan pulang Eugene mengungkapkan rasa irinya karena Ae Shin bisa mendapatkan keramik Eun San sedang permintaan dirinya langsung ditolak mentah – mentah.

“Kami sudah lama berbisnis”

“Mereka memberimu yang retak atau rusak”

“Benda – benda seperti itu pun bisa digunakan”


“Kau akrab dengan penembak dan kau jauh – jauh datang untuk beli kendi rusak..”

“..Kendi rusak tidak bisa digunakan untuk menyimpan barang..”

“..Pasti untuk latihan tembak”

“Entah apa maksudmu !”

“Sepertinya kau paham”, sindir Eugene karena Ae Shin masih belum mau mengakui jika dirinya pernah berencana menembak Logan


Ae Shin kembali mengeluarkan tatapan sinis. Eugene sontak memukulkan dua dayungnya ke sungai.

Ae Shin tercengang, wajahnya terkena cipratan.

“Jangan salah paham aku kurang mahir mendayung”


Ae Shin balas dendam, ia menggoncang – goncangkan perahu, “Jangan salah paham. Aku tidak terbiasa di perahu”


Perlahan atmosfer keseriusan mulai pecah. Ae Shin kembali menanyakan alasan Eugene ke pembakaran karena sepertinya dia tak tertarik untuk membeli keramik.

“Aku datang karena ingin mengunjunginya”

“Kalian tampak tidak saling kenal“

“Aku kenal dia. Dia hanya lupa”


Eugene tiba – tiba memberi pengetahuan tentang jenis senapan, “Senapan Rusia berlaras panjang dengan sentakan kuat..”

“..Sulit dikendalikan jika tubuhmu kecil..”

“..Tapi lebih akurat daripada senapan Jerman..”

“..Jadi kemungkinan meleset lebih kecil..”

“..Bahkan saat di luar jarak tembak efektif..”

“..Kau harus berlatih memegang sebelum mahir menembakkannya”

Ae Shin tampak gugup.


“Itu saranku..”

“..Tapi mungkin kau tidak mengerti”

Ae Shin yang masih tidak mau mengaku walau Eugene sudah mengetahui sontak menyentak, “Jelas aku tidak mengerti !!”


Eugene berhenti memojokkan, ia melirik hiasan ornamen Ae Shin, “Berapa nilai ornamen seperti itu ?”

“Maksudmu harganya ?”

“Berapa harganya sekitar 30 tahun yang lalu ?”

Ae Shin berpikir sejenak, ia memegangi ornamennya, “Tiga dekade lalu ? Semestinya cukup membeli sekarung beras”

Eugene berhenti mendayung, ia terenyuh 

Flashback

“Itu setara tiga mal beras..”

“..Jangan terima dibawah itu”

Flashback end

“Dia bahkan tidak tahu harganya”, gumam Eugene.

“Kau tidak mendayung perahunya ?”


“Pikiranku sempat melayang”

“Apa yang kau pikirkan ?”

Eugene memilih mengacuhkan karena selama ini Ae Shin tak pernah menjawab pertanyaan pentingnya.


Ae Shin mulai menaruh kepercayaan dan menganggap Eugene sebagai sekutu, “Aku selalu memakai ornamen agar penampilanku berbeda saat menyamar..””

“..Aku baca di surat kabar bahwa kita hidup di zaman Romantik..”

“..Mungkin itu benar..”

“..Mereka yang menerima budaya Barat menikmati kopi, mengenakan busana Prancis..”

“..Dan senang dengan barang impor. Aku tidak berbeda..”

“..Namun romansaku ada di moncong senapan Jerman..”.


“Siapa yang tahu ? Cara kau memandangku malam itu...”

“..Bisa menjadi romansa tersendiri”, jujur Ae Shin yang sepertinya sudah mulai terpikat.


Eugene yang dari tadi menyimak dalam kekaguman akhirnya mengeluarkan suara, “Gadis dari salah satu keluarga paling terhormat..”

“..Tidak boleh bicara seperti itu”


Ae Shin tersipu membenarkan, “Salam kenal ! Kabari aku jika kau butuh kendi..”

“..Aku baru tahu rekan seperjuanganku ada sedekat ini”.


Di rumah, Kim Ahn Pyung gelisah menunggu kedatangan istrinya. Ho Sun pulang, Ahn Pyung bergegas menghampiri.

“Astaga, kenapa kau lama sekali ?..”

“..Kau berhasil mengirim telegram ?”

Ho Sung mengiyakan sambil mengumpati Hui Seong kurang ajar. Dengan wajah sedih ia lalu membacakan isi pesan panjang lebar yang sebenarnya ingin disampaikan untuk putranya, “Anakku sayang bagaimana kabarmu jauh dari keluarga? ..”


“..Berbulan – bulan kau tak mengirim kabar..”

“..Kecuali ibu menghubungi dahulu...”


Ahn Pyung pelit menyela, “Sayang, semoga kau tidak menulis sebanyak itu ke dalam pesan telegram..”

“..Satu kata setara satu mal beras”

Ho Sun gemas, “Niatku mau menulis sebanyak itu...”

“..Tapi aku Cuma menulis, ‘Kau harus cepat pulang’..”

“..Cuma empat kata ! Kau puas ?!”


Ahn Pyung memuji keiritan Ho Sun. Ho Sun kesal karena Ahn Pyung melarangnya pergi ke Jepang untuk menyeret Hui Seong pulang.

“Sayang ongkos feri ke Jepang setara sekarung beras besar”


“Astaga ! Apa beras lebih berharga daripada putra kita ?!..”

“..Jika dia tidak pulang tahun ini, keluarga kita tidak akan memiliki ahli waris !..”

“..Kita harus berusaha maksimal agar dia pulang !”

Ahn Pyung ikut mengatai Hui Seong kurang ajar karena sikapnya masih kekanak – kanakan di usia 30.


Ho Sun melepas syal, bekas sayatan ibu Woo Jin terlihat jelas, ia menatap pasrah Ahn Pyung lalu mengkoreksi jika usia anaknya 32 tahun.

Ho Sun masuk ke dalam meninggalkan suami yang tidak tahu apa – apa bahkan informasi kecil mengenai anaknya.