Mr. Sunshine Episode 3 Part 4 ~ by2206am

Mr. Sunshine Episode 3 Part 4 ~ by2206am


Pesan telegram tiba, geisha yang menemani Hui Seung bertanya bagaimana jika wanita yang dijodohkan dengannya jelek.

“Aku tetap harus menikahinya. Begitulah kehidupan di Joseon”

Hui Seong membaringkan badan frustasi. Geisha mendekat dan langsung masuk ke  dalam dekapan.

“Kejam sekali. Negaramu sendiri memberimu begitu banyak kesulitan..”


“Apa yang akan kau lakukan setelah pulang ke Joseon Tuan Muda?”

“Tidak ada”

“Kenapa ?”

Hui Seong memberi perumpamaan jika di Jepang pun ia tidak pernah melakukan hal yang benar- benar berguna pasti keadaannya di Joseon pun sama. Tapi sedetik kemudian ia meralat karena di sini ia bahagia karena bisa bertemu dengan wanita cantik di sampingnya.

Geisha tersenyum mengatainya manusia berdosa.

Hui Seong bergumam membenarkan menggunakan bahasa Joseon. Ekspresinya menggambarkan kepedihan.

Penjahit Taera

Asisten penjahit memperlihatkan setelas jas pesanan Ae Shin. Bu Haman memuji kerja bagusnya.

Asisten penjahit balik menyanjung sikap baik Ae Shin yang setiap tahun selalu kemari untuk menjahitkan jas Hui Seong yang bahkan sampai saat ini belum kembali.

Ae Shin menjawab bijak, “Seorang pria melintasi lautan dengan tujuan besar..”

“..Tentu dia mengutamakan studi”


“Anda baik sekali. Nona Ae Sun cerita tentang anda”

Ae Shin kaget, “Kakakku ? Apa maksudmu ?”

“Nona Ae Sun membeli sepatu Barat tapi dia tidak membayarnya..”

“..Katanya nona yang akan membayar”

Bu Haman mulai bergidik karena Ny Jo akan marah jika mengetahuinya.

Sejenak Ae Shin berpikir sebelum akhirnya bertanya memastikan, “Sepatu barat hanya dibuat di toko utama bukan ?”

Asisten membenarkan. Ae Shin menahan senyum.


“Aku akan bayar yang diambilnya, aku juga ingin sepatu yang sama..”

“..Aku akan langsung ke toko utama..”

“..Beritahu mereka di sana”

“Baiklah nona”


 Bu Haman khawatir karena toko utama berada di Jemulpo, “Nona mau pergi sejauh itu ? Kenapa ?”

“Aku akan memakai kesempatan ini untuk naik kereta..”

“..Aku mau lihat sendiri benarkah secepat kata orang..”

“..Aku tak akan tahu sebelum mencoba. Jangan takut..”

“..Beritahu pak Ah Beom juga”


Bu Haman kegirangan karena Ae Shin mengajak dirinya dan Ah Beom.

“Ommoo yaa.. Berarti aku butuh baju baru..”

“..Aku harus berpakaian layak jika bepergian sejauh itu”


Bu Haman keluar mencari Ah Beom. Asisten memberitahu jika ukuran sepatu barat beda dari danghye (sepatu kulit tradisional). Ia mempersilahkan Ae Shin ke dalam untuk mengukur ukuran kaki.


Bu Haman menyampaikan kabar bahagianya pada Ah Beom tapi Ah Beom tampak biasa saja.

“Astaga, kau tidak boleh berpakaian begitu”


“Naik apa ? Nona Ae Shin mau naik kereta besi buatan Jepang itu ?”

“Mungkin memang Jepang yang membuatnya, tapi pengemudinya kan orang Joseon. Ayolah jangan konyol..”

“..Apa kau punya jubah yang layak ?”

“Selama terasa hangat tidak masalah. Apa lagi yang dibutuhkan ? Inilah aku yang apa adanya”, jawab malas Ah Beom.

“Dimana kau menghabiskan semua uangmu ?”


“Aku simpan untuk membelikanmu sesuatu jika kau perlu. Kau perlu apa ? Baju baru ?”

Bu Haman meringis, “Siapa ? Aku ? Kenapa kau mau membelikanku ? Pasti kau punya banyak uang...”

“..Jawab saja. Kau punya jubah yang layak atau tidak ?..”

“..Kenapa kau bicara omong kosong tanpa menjawabnya ?”


Ah Beom kesal memukul – mukul dada karena bu Haman tak peka akan perasaannya. Bu Haman malah salah mengartikan jika Ah Beom sakit. Refleks ia mengkalungkan syalnya, “Kau kedinginan ? Orang tua memang mudah kedinginan”


Ah Beom putus asa sementara terus melanjutkan celotehan, “Apa  yang harus ku kenakan ?..”

“..Alangkah baiknya jika bisa memakai gaun sutra. Bisa pinjamkan aku uang ?”


Asisten sibuk mencatat ukuran kaki Ae Shin untuk diinformasikan ke toko utama Jemulpo. Mata Ae Shin mendadak melebar mendapati kehadiran Eugene yang tengah mencoba setelan baru.

Asisten selesai, ia berencana memakaikan kembali sepatu Ae Shin namun Ae Shin melarang. Akhirnya asisten permisi mengambilkan barang Eugene yang lain.


Di tinggal berdua Eugene buka suara, “Aku tidak bawa banyak baju”

Ae Shin yang sedang mengenakan sepatu mengira jika itu karena Eugene masih belum lama di Joseon.

Ae Shin lanjut memuji setelan yang dikenakan Eugene sangatlah cocok.


“Aku justru meragukannya, kau tahu apa warna setelan ini ?”


Ae Shin berdiri menghela nafas, untuk menutupi ketidakpahamannya ia langsung mengalihkan dengan bahasan lain, “Biru tua cukup bagus untukmu..”

“..Membuatmu mirip landak”

Eugene menahant tawa.


“Suatu kebetulan yang langkah. Kau bekerja di legasi..”

“..dan bicara bahasa Amerika dengan cukup fasih..”

“..Jadi jika tidak keberatan bolehkah aku bertanya sesuatu ? Apa artinya ‘Love’ ?”


Eugene tertegun, “Kenapa kau bertanya ?”

“Karena aku mau bertanya. Aku dengar itu lebih baik daripada mendapat sebuah gelar”


Eugene kesusahan memberi pengertian, ia menjawab sekadarnya, “Kurasa begitu...”

Beberapa detik suasana mendadak sepi. Eugene sibuk memilah kata terbaik untuk melanjutkan hingga akhirnya ia memilih kalimat, “..Tapi tidak bisa sendiri,, kau butuh orang lain untuk itu”.


Ae Shin polos menimpali, “Jadi maukah kau melakukannya denganku ??”

Eugene memilih diam.


Ae Shin mengira Eugene menolak karena dirinya seorang wanita, “Kenapa jika denganku ? Aku bahkan bisa menembakkan senapan”

“Itu jauh lebih kuat daripada itu..”

“..Jauh lebih berbahaya..”

“..Dan butuh tekad lebih kuat”


“Pasti cukup sulit kan ?”, simpul Ae Shin yang masih tidak tahu apa – apa tentang bahasan sensitif yang ia tanyakan.

“Kenapa kau bertanya padaku ?”

“Karena kau rekan seperjuangan”

“Kenapa kau pikir aku rekan seperjuangan ?”


Atmosfer mulai terasa serius. Ae Shin menoleh kanan – kiri sebelum menjawab memastikan tidak ada pihak ketiga yang mendengar, “Satu Amerika dan empat Jepang tewas..”

“..Kita sama – sama tahu pelakunya tapi kau tidak menangkapku..”

“..Adakah alasan lain atas perbuatanmu selain itu ?”

“Kenapa kau mencoba menembaknya ?”, tanya Eugene.

Ae Shin pun balik bertanya.


“Dia sudah memalukan Amerika”

“Dia juga sudah memalukan Joseon”, timpal cepat Ae Shin


“Dia bilang Jepang mencerahkan Joseon yang tidak beradab..”

“..Dia mempermanis intervensi Jepang dengan menyebutnya pencerahan”


Balasan Eugene membuat Ae Shin terbelalak, “Apakah Joseon pernah memiki kehormatan untuk dipermalukan ?..”

“..Aku tidak butuh pelaku yang sebenarnya, aku Cuma butuh situasi..”

“..Pembunuhan itu..”

“..Akan dianggap sebagai aksi sisa – sisa Pasukan Kebenaran..”

“..Aku sudah mendapatkan keinginanku”


Stasiun Jemulpo

Ae Shin berjalan penuh keanggunan melewati gerbong satu. Bu Haman dan Ah Beom membuntuti.

Seorang penumpang wanita menyapa lalu mempersilahkannya duduk. Ae Shin menolak halus karena kursinya ada di gerbong lain.


Tiba di gerbong kedua, mereka bertiga malah mendapati suasana menegangkan karena ulah seorang oknum Jepang.


Sersan Tsuda mengarahkan moncong sejata pada para penumpang di dalam gerbong, “Babi – babi Joseon ini..”

“.. Tidak pantas untuk kekaisaran Jepang”

Salah satu bibi mengumpat geram dengan bahasa yang tentu tidak dimengerti Tsuda.


Ae Shin dipenuhi amarah, ia meneruskan langkah tanpa gentar. Sersan Yamada menyuruh Tsuda membiarkan Ae Shin lewat karena dia masih mudh dan cantik jadi harus tetap hidup.

“Ooo.. Kita lihat apa dia masih cantik saat ketakutan”. Tsuda mengacungkan senapan. Para penumpang tersentak sementara Ae Shin tak berkedip takut sedikit pun.

Tsuda menyeringaikan sikapnya, ia menawari Ae Shin mencoba memegang dan merasakan senjatanya.


Ae Shin tertantang, ia langsung memompa senapan yang baru saja diterima tangannya kemudian balik menodong Tsuda, “Dimana aku harus bidik agar mematikan ? Di sini (di dada), atau di sini (di kepala) ?”


Ae Shin bersiap menarik pelatuk namun pria misterius tiba – tiba merebut senjata bahaya itu untuk dikembalikan pada pihak Jepang, “Nona ini bukan mainan..”

“..Tuan ini silahkan. Sumimasen,, suminasen”


Ae Shin bergumam karena mengenal jelas siapa sosok misterius tadi, “Guru ?”


Ae Shin mempercepat jalan berusaha mengejar tapi pasukan Amerika yang masuk dari arah berlawanan menghalau tujuannya.


Bu Haman berbisik tidak tahu apa lagi yang akan terjadi karena mendadak banyak tentara Amerika yang berdatangan.

“Ini kali kedua aku melihat mereka..”

“..Wajah pucat dan mata biru orang Amerika selalu membuatku merinding..”

“..Aku seperti melihat hantu”, curhat Ah Beom


Bu Haman mendengar desas - desus jika tentara Amerika bisa menguntal manusia, ia sangat berharap mereka menjadikan orang Jepang sebagai menu santapan.


Ae Shin menggeleng – geleng sibuk memikirkan alasan tentara Amerika  menginjakkan kaki ke Joseon.


Kereta tiba di tujuan. Belum berjalan terlalu jauh, tiba - tiba ada dua tentara Amerika yang mengarahkan moncong senapan.

Bu Haman tersentak mundur.


Terdengar suara wanita berteriak marah, “Aku tidak paham omonganmu ! Silahkan geledah aku ! Aku tidak menyembunyikan apa – apa !”. 

Bu Haman menoleh, ia keheranan melihat orang itu mengangkat – ngangkat rok seperti wanita gila.

“Astaga !”

“Mau apa kau ? Kau mau aku buka baju ?”

“Apa yang mau kau lakukan ?”

“Kau mau aku membuka semuanya ?”


Tentara menggunakan bahasa inggris menyuruh Ae Shin berdiri di sana untuk mengantre penggeledahan rok.

Bu Haman seketika menyentak, “Kau bicara apa ?”

“..Kasar sekali ! Kau tidak tahu sedang bicara dengan siapa ?”


Tentara hendak memegang lengan Ae Shin untuk mengarahkan agar segera menuju tempat pemeriksaan. Ah Beom refleks menampik.

Tentara makin mengamuk.


Suara Eugene menghentikan pertikaian, “Dia mau menggeledah rok kalian”

Perlahan Eugene melangkah mendekat sembari memberi hormat pada sang rekan senegara.

Eugene berhenti tepat di hadapan Ae Shin dengan ekspresi serius ia berkata, “Kami mencari senapan Amerika yang hilang di kereta...”

“..Mohon kerjasamanya”


Ae Shin tercengang, “Kau tentara ?..”

“..Tapi bagaimana bisa seorang pria dari Joseon memakai seragam Amerika ?”

“Aku tidak bilang dari Joseon..”

“..Aku Eugene Choi. Kapten Korps Marinir AS”


Kalimat terakhir Eugene di Taera terngiang.

“..Akan dianggap sebagai aksi sisa – sisa Pasukan Kebenaran..”

“..Aku sudah mendapatkan keinginanku”

Ae Shin memejamkan mata berusaha menerima kenyataan. Ia menyuruh dua pelayannya pergi. Mereka protes. Sekali lagi Ae Shin memberi penegasan membuat Bu Haman dan Ah Beom terpaksa menyingkir.


Ae Shin tersulut emosi, “Inikah yang kau inginkan ?..”

“..Memanfaatkan kematian orang Amerika itu untuk membawa tentara Amerika ke Joseon ?”

Eugene menanggapi ketus, “Aku tidak akan tanya lagi..”

“..Mohon untuk bekerjasama...”


Ae Shin menyela, “Kurang ajar ! Beraninya kau mengancam rakyat Joseon di negeri Joseon !”

“..Benarkah senapan itu hilang ?..”

“..Atau..”

“..Itu hanya alasan untuk...”, Ae Shin berjalan mendekati Eugene tapi langkahnya terhenti karena jarak todongan senapan makin dekat.


Eugene menjelaskan jika sebuah kotak senapan runduk di gerbong barang dibongkar, “Cuma satu senapan yang hilang..”

“..Menurutmu untuk apa ?..”

“..Jangan menarik perhatian..”

“..Senapan Amerika tidak membedakan bangsawan dan budak..”

“..Begitulah demokrasi”. Eugene mencurigai kekacauan ini ulah Ae Shin.


Mata Ae Shin memerah menahan amukan. Ia mencermati nama yang terpatuk di baju tentara Eugene.

“Aku bahkan tidak bisa membaca namanya..”

“..Yang kusangka rekan seperjuangan..”

“..Ternyata orang asing sejak awal..”

“..Kau teman?..”

“..Atau musuhku ?”, batin Ae Shin




Bersambung ...