Praise of Death Episode 1 Part 2 ~ by2206am
Di asrama, Sim Deok mengutarakan keluh kesah pada temannya yang merupakan orang Jepang yang setia mengiringi nyanyiannya di setiap sesi latihan, “Dia benar – benar tidak masuk akal”
“Lalu kenapa kau setuju untuk tampil dengan pria seperti itu ? Bukankah kau bilang itu bisa berbahaya ?”
“Aku ingin lihat seberapa bagus permainan baru yang dia siapkan..”
“Aku ingin lihat seberapa bagus baginya untuk meremehkanku seperti itu. Dan aku akan perlihatkan padanya betapa handalnya kemampuan menyanyiku”, ujar optimis Sim Deok.
Sebelum Woo Jin memasuki kamar istirahat, bibi pembantu memanggil dan menghampirinya untuk menyerahkan surat, “Ayahmu mengirim surat untukmu setiap hari. Manis sekali dia”
Woo Jin mulai membaca isi pesan yang tertuju untuknya itu.
“Jangan repot dan gunakan uangnya dengan bijak. Jangan membaca buku yang tidak berguna. Aku mengizinkanmu belajar Sastra Inggris sesuai keinginanmu, jadi setelah kau menyelesaikan studimu, kembalilah ke Joseon untuk menjalani kehidupan sesuai keinginanku. Aku akan menghubungimu”.
Woo Jin menghela nafas, ia tampak terbelenggu dengan kehidupan yang penuh penekanan dari sang ayah.
Sim Deok unjuk bakat di hadapan rekan – rekan Woo Jin dengan iringan piano Han Ki Joo. Semua orang menatapnya kagum sampai - sampai Nan Pa tak berkedip sedikitpun. Ia terpanah bukan oleh suara melainkan oleh aura kecantikan Sim Deok saat bernyanyi.
Berkali – kali Sim Deok melirik ke arah Woo Jin yang tengah duduk memunggungi seolah – olah mengacuhkannya, namun tanpa sepengetahuan Sim Deok, Woo Jin fokus mendengarkan sembari beberapa kali mengedarkan pandangan ke arahnya.
Sesi pertunjukan selesai, semua bertepuk tangan. Woo Jin langsung maju memberi penilaian untuk Ki Joo, “Kolaborasi dengan Ki Joo boleh – boleh saja tapi kedengarannya cukup menyedihkan..”
“Aku lebih suka keceriaan. Ki Joo ~ ssi maaf atas ketidaknyamanan ini. Sesekali kau terdengar luar biasa”
Ki Joo tak mempermasalahkan. Woo Jin memanggil Sim Deok tapi tidak tahu harus berkata apa sehingga membuat penyanyi sopran itu menahan marah seakan diabaikan karena tak mendapat kritikan sedikitpun. Woo Jin lanjut menyuruh semua anggota agar segera memulai latihan, “Kyosuke Tomoda akan membantu kita dengan memberikan arahan”
Orang Jepang yang dimaksud pun berdiri memperkenalkan diri, “Aku Kyosuke Tomoda. Harap kerjasamanya”, ucapnya yang kemudian membungkuk hormat.
Hae Sung yang sudah berpakaian wanita memulai acting harunya, “Heung Su ~ ssi nasibku ada di tanganmu”
“Hwa Bong ~ ssi”, ucap Lee Seo Koo yang langsung memeluk Hae Sung, membuat pria itu bergidik geli kehilangan penghayatan sehingga Woo Jin menghentikan pertunjukan mereka, “Hentikan, begitukah ekspresi seseorang yang sedang memeluk kekasihnya”.
Seo Koo belum juga melepaskan pelukan, Hae Sung langsung mendorong dan memberinya tendangan maut.
“Aku tak bisa”, timpal Hae Sung frustasi berharap Woo Jin iba.
Woo Jin tetap tidak peduli, “Berhenti mengeluh atau aku akan melakukan hal yang lebih buruk”
Tatapan garang Woo Jin berhasil membuat Hae Sung melunak , “Ya ampun. Woo Jin ~ ssi baiklah aku akan berakting dengan baik”
“Heung Su ~ ssi aku janji akan lebih baik lagi. Aku mencintaimu Heung Su ~ ssi”
Tingkah konyol temannya itu seketika membuat Woo Jin tersenyum sementara Sim Deok yang duduk dibelakang terus memperhatikannya dengan sorotan tajam.
Selesai latihan Nan Pa yang mulai menunjukkan ketertarikannya, mengajak Sim Deok makan tapi ajakan itu ditolak dengan alas an ia masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Sim Deok mengacuhkan Nan Pa setelah melihat Woo Jin.
Ia berlari keluar gedung tapi tak mendapati siapapun membuatnya mengeluarkan raut kecewa.
Di sisi samping bangunan terlihat seorang laki – laki misterius yang tengah menyembunyikan diri.
Sim Deok memutuskan ke kedai mie untuk mengisi perut dan disangka ternyata Woo Jin sedang menyeruput makanan pesanannya disana. Sim Deok mengedarkan pandangan mencari tempat, dengan terpaksa ia duduk di sisi Woo Jin karena tak ada kursi kosong lain yang masih tersisa.
“Pesan semangkuk mie”, ucap Woo Jin tiba – tiba sembari melirik wanita di sampingnya
“Aku tak pernah bilang aku mau !”
“Itu untukku”, elak Woo Jin
“Semangkuk mie…..”
“Cuma bercanda itu untukmu”, sahut Woo Jin cuek sehingga membuat Sim Deok kesal setengah mati.
Sim Deok langsung melahap mie panas yang baru tiba di hadapannya dengan suapan besar, mulutnya serasa terbakar, Woo Jin menyodorkan minuman.
Sim Deok membuka pembicaraan, “Kenapa kau tadi buru – buru ?”
“”Aku lapar”
“Bagaimana kau tahu tempat ini ?”, Tanya Sim Deok sambil mengaduk mie.
“Mana ada orang Korea di Tokyo yang tak tahu tempat ini”
Woo Jin beranjak, dengan mulut penuh Sim Deok menarik lengannya dan berkata, “Sebentar aku mau bilang sesuatu”. Woo Jin menunggu, sejenak ia memandang lengan bekas pegangan Sim Deok.
Woo Jin yang kini sudah berada di kedai teh menanyakan apa yang akan Sim Deok katakan.
“Bagaimana bias kau begini padaku ? Saat hari pertama kita bertemu, kau itu selalu meremehkanku..”
“Kau pikir aku ini seorang wanita yang malang yang tak pedulid engan negaranya sendiri”, protes Sim Deok.
“Itu tidak benar”, balas Woo Jin
“Pertunjukan di Negara asal ? Bagus juga tapi bedanya apa ? Negara kita sudah terpuruk jadi apa gunanya musik dan drama? Mereka tak punya kekuatan”
Woo Jin yang sedari tadi menyimak berkata jika perkataan Sim Deok barusan memanglah benar, “Tapi, aku cuma mencoba mempertahankan negaraku dengan caraku sendiri…”
“Negara kita diinjak – injak tapi aku mau menunjukkan kalau jiwa kita belum redup dalam bentuk drama”, jelas Woo Jin penuh tekad sementara Sim Deok tampak tersentuh mendengarnya.
Bukankah itu juga alasannya mengapa kau bernyanyi ?“, imbuhnya
“Jika kau tidak meremehkanku lalu kenapa kau mengomentari pertunjukan orang lain tapi aku tidak ? Itu memalukan”
“Aku Cuma tak bisa berkata - kata”
Sim Deok tak mengerti, Woo Jin pun menambahkan, “Aku tidak perlu berkomentar karena nyanyianmu sangat indah…”
“Saat kita pertama bertemu kau Tanya kenapa aku membaca buku Jepang dalam bahasa Joseon..”
“Itu karena aku tidak lupa kalau aku ini orang Joseon. Ada yang lain”
Sim Deok terpanah mendengar ucapannya sehingga ia menjawab gugup, “Yah tidak ada..”
Woo Jin pergi, Sim Deok menatap punggungnya lalu tersenyum sambil bergumam, “Kenapa kau tidak cepat mengatakannya Kim Woo Jin ~ ssii”
Esoknya Woo Jin mondar – mandir mengkoreksi kekurangan rekan – rekannya yang masih sibuk latihan agar bisa menampilkan pertunjukan luar biasa di hadapan rakyat Joseon.
“Bagaimana dengan keluargaku ?”
“Lihat, ibu dan adikku yang malang...”
“Aku ingin kau mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi lebih putus asa itu tidak terdengar menyedihkan..”, beritahu Woo Jin.
Sim Deok fokus melihat pementasan mereka sampai - sampai terkejut saat Ki Joo memanggilnya.
“Sim Deok ~ ssi bisakah kita mulai ?”
Sim Deok mengiyakan ia lanjut bertanya tentang biaya latihan, “Ngomong – ngomong latihan ini pasti menguras dana cukup banyak. Bagaimana cara mengatasinya ?
Ki Joo menjawab jika sebagian besar dana diurus oleh Woo Jin denganuang pribadinya, “Benar kata Nan Pa jika semangat Woo Jin untuk tulisan dan dramanya tidak terbatas”
Tengah malam, di kamar Woo Jin mulai menorehkan pena, “Aku tak suka dia tapi dalam ingatanku, aku….”.entah apa yang diatulis karena adegan beralih ke asrama Sim Deok.
Sim Deok berguling kesana kemari berusaha tidur namun matanya tetap tak mau terpejam. Pikiran yang sudah di penuhi bayangan Woo Jin membuatnya tersenyum bahagia.
Sim Deok menatap derasnya guyuran hujan dari kaca ruang latihan, ia menunggu – nunggu kedatangan Woo Jin sambil sesekali melirik notasi lagunya. Pintu terbuka, namun Hae Sung yang muncul sambil menggerutu, “Aigoo, aku terlambat karena hujan”
Sim Deok akhirnya menghampiri Myung Hee, “Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Woo Jin ? Dia sudah absen selama dua hari. Aku khawatir tentang pertunjukan karena pengarah drama kita belum datang”, tanyanya berusaha menyembunyikan kegugupan.
Myung Hee melarangnya khawatir karena Wooo Jin akan segera kembali beberapa hari lagi.
“Apa Woo Jin sakit atau ada sesuatu ?”, tanya cemas Sim Deok membuat raut cemburu tersemat di wajah Nan Pa yang sedari tadi diam – diam memperhatikannya.
Sim Deok memutuskan mengunjungi Woo Jin meskipun cuaca masih tak mendukung. Bibi pembantu mengarahkannya ke kamar Woo Jin.
Pintu tak dikunci, Sim Deok masuk setelah beberapa kali mengetuk tapi tak mendapati jawaban. Woo Jin ternyata masih terlelap.
Sim Deok berusaha merapikan tumpukan buku yang mengganggu penglihatannya tapi ia malah menemukan secarik puisi karangan Woo Jin yang ditulis beberapa hari lalu.
“Seiring berjalannya waktu..”
“Air mata mengalir turun karena luka yang tak bisa disembuhkan..”. Sim Deok terdiam, sejenak ia melirik Woo Jin yang tengah berbaring lalu lanjut membaca
“Karena tidak mampu menahannya aku menangis..”
“Tapi kenapa terdiam seolah – olah api menyambar terbakar dalam hatiku ?”
“Jika aku masih anak kecil...”
Terdengar suara Woo Jin dalam flashback, “Jika aku masih anak kecil dan menangis ketakutan..”
“Ibuku akan memanggilkan dokter..”
“Jika aku masih kecil..”
“Ibuku akan membawakanku air dingin untuk hatiku yang terbakar..”
“Jika aku masih anak kecil dan sakit..”
“Tidur malam yang nyenyak akan menyembuhkanku..”
“Tapi, karena aku bukan lagi anak kecil..”
“Luka itu terus merombak lebih dalam. Jika saja aku masih anak kecil..”
“Oleh Soosan”
“Soosan ? Siapa Soosan ?”, gumam Sim Deok penasaran.
Woo Jin tiba – tiba terbangun membuat Sim Deok kaget, “Sedang apa kau ?”
Bersambung..