Praise of Death Episode 2 Part 3 ~ by2206am

Praise of Death Episode 2 Part 3 ~ by2206am


Sim Deok yang sedang menunggu giliran tampil merasa gelisah, “Woo Jin ~ ssi, bisakah kau berdiri disini dan melihatku ? kurasa itu akan membantu mengurangi rasa gugupku”. Woo Jin menyanggupinya membuat Sim Deok sedikit lega.


Sim Deok pun sukses menyanyikan lagu tanpa cacat sekalipun berkat kehadiran Woo Jin yang seolah memberikan kekuatan.

Mereka mengakhiri kegiatan tur dengan pesta besar.


Woo Jin hanya duduk menenggak minuman beralkohol ditemani Myung Hee.

“Sepertinya pertunjukan di Gyeongseong tidak akan pernah ada tapi tur sudah berakhir”, ucap Myung Hee.

“Aku tahu”


“Berapa tahun lagi sampai kau lulus ?”, tanya antusias Myung Hee.

“Aku akan lulus dalam tiga tahun”

“Apa yang akan kau lakukan setelah lulus ?”


Woo Jin hanya tersenyum getir membuat Myung Hee merasa tak enak telah mengajukan pertanyaan, “Aku tahu kau harus kembali ke kampung halamanmu”


Woo Jin mengalihkan pembicaraan, ia balik menanyakan rencana Myung Hee usai mengenyam pendidikan.

“Aku tidak ingin berada di Joseon atau Jepang. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang jauh untuk menjangkau dunia yang lebih luas”, sahut Myung Hee penuh keyakinan.

“Aku yakin kau akan menjadi penulis hebat dimanapun kau berada”


“Itu lebih bagus jika kau juga meneruskan menulis”, ucap Myung Hee yang sekitika menciptakan suasana haru. Woo Jin hanya sanggup menghela nafas lalu menatap sendu Sim Deok.


Sim Deok duduk sendirian di depan botol – botol bir setelah ditinggal Ki Joo yang memilih berdansa bersama Hae Sung.

Cukup lama Sim Deok memandang Woo Jin dari kejauhan.


Ia berencana menghampiri lelaki itu, namun Nan Pa menghentikan langkahnya, “Bolehkah aku menari bersamamu ?”. Sim Deok kerepotan memikirkan kalimat penolakan, Nan Pa langsung menarik tangannya ke dalam kerumunan.


Woo Jin sempat melirik Sim Deok yang tengah berdansa.


“Kau suka dengan Woo Jin ? Atau kau mencintainya ?”, tanya Nan Pa tiba-tiba setelah melihat arah mata Sim Deok yang tak bisa lepas dari bayangan Woo Jin.

“Melihat hal itu kau harus berhenti”, lanjut Nan Pa.

“Kenapa harus aku ?”


“Karena rasa sakitmu akan lebih meruak lagi karena perasaanmu padanya semakin tumbuh”.


Sim Deok mulai menaikkan nada bicara, ia langsung melepaskan pegangan tangannya, “Kau membuatku tak mengerti apa yang kau bicarakan”.



Nan Pa belum sempat menjawab karena tiba – tiba tiga polisi datang merusak suasana sambil memecahkan gelas – gelas, “Siapa pemimpin rombongan yang baru saja menyelesaikan tur mereka ?”, bentak salah seorang polisi Jepang pembuat onar yang memiliki bekas luka sayatan di pipi kirinya.


Woo Jin lantas maju, menampakkan diri, “Aku, ada apa ?”

Polisi itu langsung mengerahkan dua bawahannya untuk menyeret paksa Woo Jin menuju tahanan.


Myung Hee menghampiri rekan – rekannya yang sudah harap – harap cemas mengkhawatirkan Woo Jin.

“Kurasa mereka tidak akan membiarkannya pergi hari ini..”

“Dia mungkin tidak akan dibebaskan selama beberapa hari”


“Naskah disensor dan disetujui. Apa lagi masalahnya ?”, tanya Hae Sung tak habis pikir.


“Aku mendengar dialog ini...”


Para polisi memukuli Woo Jin secara tak manusiawi, terlihat luka memenuhi sekujur tubuh pria malang itu.

Suara Myung Hee pun terdengar membacakan kalimat dialog yang menjadi sumber masalah, “Sepuluh tahun lalu, kami memiliki kebebasan. Tapi hari ini di tanah ini, kebebasan tidak ada lagi”.


“Tapi itu benar. Kami hanya menyertakan fakta. Apa itu dianggap kejahatan ? Kenapa dia harus dikurung ?”, ucap Hae Sung yang mulai naik darah.


Nan Pa berujar, “Mereka ingin memberikan contoh untuk memunjukkan apa yang bisa terjadi..”

“Saat kami bicara tentang kebebasan di Joseon”


Sim Deok tampak sangat murung, ia berpamitan dan  Myung Hee mempersilahkan karena mereka juga akan segera pulang.


Sim Deok berdiri memandangi pintu utama kantor polisi Jongno, ia sangat mencemaskan seseorang yang kini kondisinya semakin memprihatinkan akibat ulah keji oknum Jepang.


Berulang kali dia pergi ke kantor polisi itu hanya untuk berdiam diri mematung di depan gerbang menanti kebebasan Woo Jin yang tak pasti harinya. Ia berusaha menahan, namun air matanya tetaplah menetes.


Woo Jin akhirnya bisa melangkah pergi meninggalkan tempat terkutuk yang menyengsarakan, ia terhenyak mendapati Sim Deok di balik gerbang. 


Sim Deok menatap pedih luka di tubuh Woo Jin. Tak ada kata yang terucap, mereka hanya saling menatap.

Dengan gairah, aku mendengar kutukan menetapkan nasibku. Dia adalah satu – satunya tempat teraman dalam hidupku, dimana itu terkepung oleh keburukan. (26 November 1921 Berdasarkan catatannya, Trace of Heart)

Bersambung ...