Praise of Death Episode 4 Part 2 ~ by2206am

Praise of Death Episode 4 Part 2 ~ by2206am


Gi Seong mengetuk pintu sebelum akhirnya menyuruh kakaknya keluar menghadap sang ayah.


Masalah baru timbul. Di ruang keluarga ibu menawarkan perjodohan dengan anak laki – laki kaya kenalannya.

Sim Deok yang tengah tertunduk sontak menolak sopan.


“Apa kau menemui seseorang ?”

Sim Deok menyangkal. Ibu marah menanyakan alasan menolak tawarannya.

Tuan Yun menyuruh ibu berhenti bicara. Tuan Yun terlihat kurang sehat, beberapa kali ia terbatuk membuat Sim Deok menatap nanar. Ayah lanjut mengucapkan terima kasih karena Sim Deok selama ini sudah bersedia menanggung beban nafkah keluarga, “..dan bahkan kau menyekolahkan adik – adikmu karena ketidak becusan ayahmu”

“Ayah jangan bilang begitu”


“..Ayah malu menanyakan ini padamu, tapi bantu ayah untuk terakhir kalinya..”

Tuan Yun tidak sanggup meneruskan kalimat, ia menyuruh sang istri mengimbuhkan.


“Jika kau menikah dengannya. Keluarganya akan sepenuhnya mendukung Seong Deok dan Gi Seong untuk menetap dan belajar di Amerika..”

“..Mereka bahkan akan mendukung ibu dan ayahmu secara finansial..”

“..Dengan tabunganmu yang sedikit mana cukup..”

“..Tapi keluarganya akan melakukan semua itu untuk kita..”

“..Kau harus membantu Seong Deok dan Gi Seong supaya mereka bisa memiliki masa depan yang cerah”, pinta sang ibu yang terkesan memaksa. (“ibu.. apa kau tak memikirkan masa depan Sim Deok,” gerutu sang penulis -_- )

Sim Deok gusar.


Sim Deok kembali ke tempat ia meletakkan surat Woo Jin. Entah apa yang melintas dalam pikirannya, karena setelah sekali lagi melihat tulisan tangan itu, Sim Deok tergesa – gesa melancong pergi.


Sementara di ruang kantor Woo Jin sibuk menangani berkas – berkas.

“Mohon lihat ini juga saat anda selesai mengulasnya”

“Ada lagi ?”

“Ya.. Tuan Kim juga punya banyak properti, aku iri dengan anda. Banyak sekali hal yang anda kelola”.

Woo Jin yang tampak jenuh, diam tak menanggapi. Ia melepaskan kacamata, meletakkan keras kumpulan dokumen lalu menghela nafas.


Telpon berdering, pegawai yang masih berdiri hendak mengangkat tapi Woo Jin langsung melarang dengan kode tangan.

“Ya.. Ini Kim Woo Jin..”

“..Sekarang kau ada di mana ?”

“..Aku akan ke sana, tunggu aku”

Kita tidak di perlihatkan siapa atau apa yang orang di sebrang panggilan katakan. 


Mokpo

Woo Jin berlari sekuat tenaga. Tiba di tempat tujuan, ia mendapati Sim Deok duduk  seorang diri dengan tatapan kosong.


Woo Jin menghampiri, nafasnya masih terengah, “Apa yang terjadi ? Apa yang membawamu ke sini ?”

Sim Deok tak menjawab, ia menyambar, memeluk Woo Jin, “Kau menulis dalam suratmu bahwa kau merindukanku..”

“..Itu sebabnya aku ada di sini”


Tahu keadaannya tak baik – baik saja, Woo Jin lebih memilih tak mencerca Sim Deok dengan pertanyaan tambahan. Saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha menenangkan dengan menepuk – nepuk lembut punggung wanita itu.


Mereka melangkah beriringan menyusuri tepi pantai.

“Harusnya kau memintaku untuk mengunjungimu jika kau akan segera kembali”


“Kau bilang padaku bahwa ayahmu memarahimu setiap kali kau pergi ke Gyeongseong..”

“..beliau bilang bahwa presdir perusahaan membuang – buang waktu untuk pergi ke Gyeongseong..”

“..Itu sebabnya aku yang datang. Aku tidak mau kau dimarahi..”

“..Kau harus menjadi putra yang baik”


Sim Deok tiba – tiba berhenti lalu berkata, “Pegang aku erat - erat”

Woo Jin berbalik, “Apa maksudmu ?”

“Memohonlah padaku untuk tidak pergi ‘Jangan tinggalkan aku’ pegang aku erat-erat dan jangan biarkan aku pergi”, minta Sim Deok dengan nada terdengar benar – benar putus asa.


“Pasti ada yang terjadi”

“Kau tidak bisa melakukannya ?..”

“..Ternyata kau tidak bisa..”

“..Tidak bisa. Kau putra yang baik”, ucap Sim Deok pelan sementara matanya mulai berkaca – kaca.


Woo Jin memanggil namanya, Sim Deok menyela, ia berkata penuh penekanan tanpa melihat mata Woo Jin, “Ada keluarga yang menginginkanku menikahi putra mereka..”

“..Rupanya mereka sangat kaya..”

“..Mereka bersedia mendukung adik – adikku secara finansial..”

“..Supaya mereka bisa belajar dan menetap di luar negeri. Mereka juga akan membiayai keluargaku..”

“..Itulah betapa mereka menginginkanku”


“Aku pernah bilang aku butuh uang dan kau akan melakukan semua yang kau bisa..”

“..Untuk mencari uang untukku. Lalu dengan uangmu di tanganku..”

“..Aku akan merasa malu dan jijik dengan diriku sendiri”


Sim Deok memberikan tatapan pilu, suaranya bergetar, “Tolong katakan ini..”

“..Lupakan tentang orang tua dan saudara kandungmu..”

“..Ayo kita lari ke suatu tempat yang jauh..”

“..Katakan ini”


Woo Jin diam. Air mata Sim Deok mulai menitik, ia berjalan mendekat lalu memegang kedua lengan pria itu, “Katakan ! Pegang aku dan katakan seperti ini, ‘Jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu, jadi lupakan apa yang ada di pikiranmu, jangan tinggalkan aku’ Tolong katakan itu”, Sim Deok terisak, ia tak tahu lagi apa yang harus di perbuat.


Dia terus memohon namun Woo Jin hanya mematung tak menanggapi. Sim Deok menyandarkan kepala frustasi, tapi laki – laki itu tetap tak bergeming.


Woo Jin pulang dengan langkah lunglai. Jeom Hyo mencegat di depan gerbang, matanya terlihat sembab, “Ayah ingin menemuimu”

“Aku akan menemuinya sebentar lagi,,”

“..Aku ingin sendiri selama beberapa menit”


“Kau akan menulis semalaman lagi ?”

Woo Jin yang tadinya melangkah abai menuju gerbang seketika berbalik.

“Ayah sudah menunggu dari tadi”, beritahu Jeom Hyo tetap tanpa ekspresi, ia yang pada akhirnya pergi mendahului, meninggalkan Woo Jin yang masih tak berkutik di depan pintu masuk