Praise of Death Episode 4 Part 3 ~ by2206am

Praise of Death Episode 4 Part 3 ~ by2206am


Tuan Kim kembali menyentakkan amarah keegoisan, “Sebelum aku mendapat telepon dari kantormu..”

“..Katanya ada dokumen yang perlu di setujui, tapi kau malah keluar dan tidak kembali..”

“..Jadi mereka tanya apa kau ada di rumah”

Woo Jin minta maaf. Tuan Kim naik darah, “Kau terlalu sering ke Gyeongseong dalam beberapa bulan terakhir..”


“..Dan aku berfikir ada yang aneh. Kau berkumpul dengan mereka lagi untuk kembali ke Sastra ?”

Woo Jin diam, ayah melanjutkan, “Jika benar, kau tidak akan mengunjungi Gyeongseong lagi !”


“Aku tidak perlu mengunjungi Gyeongseong lagi”, jawaban Woo Jin yang sudah patah semangat sontak membuat sang ayah terkesiap, “Mo ?”

Woo Jin tak menjelaskan, ia hanya menunduk mengucap selamat malam dengan nada layuh.

Woo Jin membuka kotak yang menyimpan kumpulan surat dari Yun Sim Deok untuk Kim Soosan. Terdengar  suara Woo Jin membaca isi pesan, “Hatiku merasa terbakar..”

“..Hatiku merasa tercekik..”

“..Mataku berkaca – kaca dan aku terpaku oleh kesedihan..”

“..Kenapa suratmu membuatku menangis ?”


Woo Jin tak memiliki kekuatan, perasaannya terlalu rapuh untuk melanjutkan, tanpa terasa air matanya keluar.


Terlihat Sim Deok menoleh kanan kiri mencari keberadaan seseorang di dalam restaurant. Seorang laki – laki berpakaian rapi lekas berdiri menyadari kehadirannya.


Suara Woo Jin meneruskan isi surat terbetik mengiringi langkah gontai wanita itu, “Tapi aku bisa apa ?”

“..Sendirian..”

“..Sendirian..”


“..Aku akan mengharapkan yang terbaik untukmu..”

“..Dan tetap menunggumu”


Pelayan melapor pada tuan Kim yang sibuk memberi makan ikan, “Tuan, kami menerima surat untuk seseorang bernama Kim Soosan”

“Kim Soosan ?”

“Ye”

Pelayan menyerahkan surat itu pada tuan Kim yang masih kebingungan.


Di kantor pikiran Woo Jin tak fokus berulang kali ia memijat - mijat kepalanya, pegawai mengira dirinya sakit.


Woo Jin menyangkal. Pegawai pun keluar setelah Woo Jin membubuhkan tanda tangan pada kumpulan berkas yang sedari tadi ia tunggui.


Entah sudah berapa lama waktu berlalu, tampak Kim Hong Ki memberi salam pamitan pada keluarga Yun. Ibu mempersilahkan. Melihat Hong Ki tak kunjung beranjak, ibu cepat tanggap mengetahui kode sang calon menantunya sehingga ia lantas menyuruh Sim Deok yang tengah melamun untuk mengantarnya menuju jalan utama.

Sim Deok menurut.


Di tengah perjalanan Hong Ki berusaha menggenggam tangan Sim Deok, Sim Deok yang kaget langsung menarik, menjauhkan lengannya,.


“Maafkan aku, aku belum siap untuk ini”


“Jadi kau masih belum siap ?”

“Maaf”

“Perasaanku sedikit sakit tapi apa yang bisa kulakukan ?..”

“..Karena aku menyukaimu, aku harus lebih sabar lagi”


Hong Ki lanjut tersenyum menyuruh Sim Deok bergegas kembali.


Sim Deok memberi bungkukan salam menyuruhnya berhati – hati. Hong Ki tersenyum mengiyakan sebelum akhirnya melangkah pergi.



Sim Deok masih berdiri mematung di tempat itu, tanpa merubah sedikit pun posisi. 

Ia memandang sedih telapaknya yang hampir di pegangi pria lain.


Tiba – tiba seseorang merengkuh tangannya yang tengah menengadah. Seketika senyum tersungging setelah Sim Deok menatap orang di hadapannya.


Tapi senyum itu pada akhirnya gagal mengembang seiring lenyapnya bayangan Woo Jin.


Woo Jin meremas kesal lembaran kertas. Ia minum alkohol lalu kembali berusaha menuangkan idenya dalam secarik lembar baru.


Woo Jin menghela nafas berat setelah ayah membuka kasar pintu ruangannya. Woo Jin berdiri, tuan Kim langsung melempar marah buku ‘May Issue’, “Jeom Hyo memberitahuku kau langsung datang kesini setelah bekerja setiap hari..”

“..Dia bilang kau minum dan menulis sepanjang malam tanpa makan..”

“..Selama sebulan penuh”


“Sudah kubilang supaya kau menjauh dari aktivitas menulis. Tapi..”

“..Kau malah mengirim tulisanmu ke majalah sastra !..”

“..Kau pikir aku tidak tahu jika kau menggunakan nama pena Soosan ?!!!!”, bentak tuan Kim, meski diam namun Woo Jin mulai menatap tajam.

“Kenapa kau harus peduli tentang gerakan reformasi teatrikal di Joseon ?!!!..”

“..Kau mencoba memberontak terhadapku..”

“..Karena kuperingatkan untuk tidak pernah mengunjungi Gyeongseong lagi ?!!!”


Woo Jin yang sedari tadi menyimak tak bergeming perlahan mulai mengeluarkan bantahan, “Sekarang ini aku menyerah terhadap semua keinginan ayah”, ucapnya masih terdengar sopan.

“Mo ?!!!”


“Aku menikah karena ayah menginginkanku..”

“..Aku masuk sekolah pertanian karena ayah bilang..”

“..Aku harus mengelola semua tanah yang dimiliki keluarga ini..”

“..Sekarang aku bekerja di perusahaan semata  - mata karena aku diinginkan..”

Suara Woo Jin terdengar bergetar, “Jadi bagaimana tepatnya aku memberontak untuk melawan ayah ?”

Tuan Kim tak habis pikir, “Woo Jin beraninya kau..”

“..Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu pada ayahmu ?!!”


Woo Jin habis kesabaran, nada bicaranya makin meninggi,“Benar..”

“..Ayah ini adalah ayahku, yang berarti aku akan menjadi anak ayah sampai aku mati !!..”

“..Tapi anak ayah ini adalah manusia..”

”..AKU INI MANUSIA AYAH!!!!..”

“..AKU SEORANG MANUSIA YANG MEMILIKI PIKIRAN DAN KEHENDAK SENDIRI..”


“Barusan kau meninggikan suaramu padaku ?!!!!”


“YE !!!!!!”, bentak Woo Jin

“Aku meninggikan suaraku pada ayah..”

“..AKU SEDARI TADI MEMOHON UNTUK MEMBIARKANKU BERNAFAS SEDIKIT..”

“..ORANG LAIN BAHKAN MENGORBANKAN HIDUP MEREKA DEMI KEMERDEKAAN JOSEON..”

“..TAPI AKU HIDUP SEPERTI PENGECUT DAN TERPAKU OLEH KEINGINAN AYAH..”

“..KARENA AKU SUNGGUH MALU, AKU INGIN MENGAKUI KESESAKANKU MELALUI TULISAN..”


Woo Jin terus melontarkan amarahnya yang selama ini terpendam, ia mulai menangis, “SETIDAKNYA MELALUI TULISAN YANG KUTULIS AKU BISA MELAKUKAN SESUATU”.

“MENCORET BEBERAPA KATA DI SELEMBAR KERTAS INI MEMBUATKU BERNAFAS SEDIKIT LEGA”, tuturnya sambil menghempaskan lembaran – lembaran kertas, tuan Kim terbelalak menerima amukan sang anak.

“KARENA AYAH MENYURUHKU UNTUK BERHENTI, JADI AKU BERTANYA..”


Ucapan Woo Jin serasa tertahan tapi ia terus berusaha menyuarakan, nadanya mulai melemah, “Ayah.. apa ayah ingin aku hidup atau mati ?”
Tubuh ayah sedikit goyah, ayah hanya berkata, “Kau sedikit mabuk” ia lalu meninggalkan ruangan.


Woo Jin yang tengah menstabilkan degupan jantung, tiba – tiba menggumamkan kalimat terakhir amarahnya dengan sorotan tajam, “Ayah ingin aku hidup..”

“..Atau mati ?”


Bersambung...


Ayah, hatiku yang berangin...
Untuk pertama kali dalam hidupku, aku memilih untuk melawan keberanian ayah...

Dari ‘Leaving Home, Penghargaan untuk Literatur, 21 Juni 1926’