Praise of Death Episode 5 Part 1 ~ by2206am

Praise of Death Episode 5 Part 1 ~ by2206am


Suasana hati Woo Jin makin memerihkan. Berulang kali ia mencoba mengguratkan pulpen tinta tapi untuk yang kesekian kali pula ia gagal melahirkan karya.


Berhari – hari berlalu, kepiluan tetap terasa memekikkan. Telepon berdering, sesaat ia mencoba mengacuhkan tapi niatnya terpatahkan.

“Ini Kim Woo Jin”, nada Woo Jin terdengar enggan.


Ternyata Sim Deok yang ada di balik panggilan. Sim Deok hanya diam, Woo Jin melanjutkan, “Ini siapa ? Bicaralah !”

Sim Deok masih tak bersuara, rautnya terlihat tak kalah semrawutan.

“Kalau tak ada suara kututup teleponnya”. Saat akan meletakkan telepon, ia tiba – tiba terpikirkan satu nama sehingga kembali mendekatkan gagang telepon, “Sim Deok ?”

“Ini kau kan ??”


Sim Deok langsung memutuskan telepon, ia menangis sesenggukan.


Jeom Hyo memberitahu ayah mertua jika Woo Jin tidak pulang semalaman.

“Tempat itu kosong sepanjang malam jadi kurasa dia masih di kantornya..”

“..Aku memeriksanya beberapa waktu yang lalu dan itu masih kosong”


“Mungkinkah dia datang saat pagi – pagi buta..”

“..Dan pulang lebih awal ?”

“Tidak ada jejak keberadaannya di sana”. Tuan Kim langsung membanting sendok makan.


Tuan Kim keluar dari kantor Sanseong dengan sulutan amarah terlampau batas, terdengar narasi seorang pegawai.

“Setelah menyelesaikan pekerjaan kemarin, aku ke kantornya untuk bicara dengannya tentang sesuatu..”

“..Tapi dia tidak ada di sana, jadi dia kurasa pulang lebih awal”.


Tuan Kim lanjut menuju Sangjijong, tempat di mana anaknya menghabiskan waktu untuk menulis. Tuan Kim menggebrak pintu ruangan, di dalam ia hanya mendapati meja penuh serakan botol alkohol dan ceceran kertas.


Mata Tuan Kim terbelalak menangkap lembaran karangan Woo Jin. Ia langsung menggeledah tiap laci dan menemukan kotak yang menyimpan kumpulan surat dari Sim Deok.

Kata per kata tulisan Sim Deok itu sukses membuat tangan tuan Kim bergetar hebat menahan marah.


Sim Deok bertatap temu dengan atasannya yang baru.

“Mungkin di Dansungsa. Aku sangat terharu setelah menonton pertunjukanmu..”

“..Setelah itu aku langsung memberitahu presdir perusahaan dan beliau setuju menandatangani kontrak rekaman dengan anda”


Sim Deok mengucapkan terima kasih, lelaki di hadapannya itu langsung menyodorkan surat perjanjian, “Untuk uang muka, sesuai kontrak..”

“..Kami berfikir akan membayarmu sekitar 600 won”

Sim Deok sontak bergumam lirih, “Itu cukup untuk membayar biaya sekolah luar negeri Seong Deok ke Amerika”

“Ye ??”

Sim Deok tersadar dari lamunan, “Aaa.. Tidak ada. Aku akan menandatangani kontraknya”


Atasan menambahkan jika rekaman akan dilangsungkan di perusahaan cabang Osaka.

“Ngomong – ngomong kapan anda akan membayarku ?”

Atasan menjawab yakin jika gaji akan diserahkan usai rekaman.


Sim Deok pulang tertunduk dengan langkah gontai. Ia berhenti setelah melihat Woo Jin. Sejenak mereka saling terpaku sebelum akhirnya Woo Jin menghampiri dan langsung memeluknya.


“Jangan ke mana – mana tetaplah di sisiku..”

“..Kurasa aku tidak bisa hidup tanpamu”


Woo Jin melepaskan dekapan. Ia lanjut meminta Sim Deok ikut dengannya pergi ke Tokyo.


Sim Deok tak menjawab, ia memilih semakin mengeraskan tangisnya yang selama ini tertahan di dalam pelukan pria itu.


Kini mereka berada di stasiun. Sim Deok yang sudah lebih tenang bertanya, “Tidak bisakah kau tinggal sedikit lebih lama lagi ?”

Woo Jin tersenyum, “Aku harus pergi sekarang”


Sim Deok terakuk kecewa.

Woo Jin memintanya bersabar karena jika tiba waktunya mereka akan selalu bersama dalam waktu yang lama.

“Baiklah”

“Akan sangat menyenangkan pergi ke Tokyo bersama”

“Di sini masih ada yang perlu kuurus”


“Jika itu tentang biaya sekolah adikmu...”

Sim Deok langsung menyela, “Tidak,, Aku tidak menginginkan uangmu..”

“..Aku cuma menginginkan cintamu..”

“..Tunggu aku di Tokyo. Begitu aku tiba di sana, haruskah aku menemuimu di rumah sewa ?”


Woo Jin mengangguk, “Carilah banyak uang. Aku ini batu yang pecah”

Sim Deok tertawa mendengar kiasan itu. Sim Deok menyuruhnya bergegas naik kereta, Woo Jin seolah tak ingin berpisah, ia kemudian menggenggam telapak Sim Deok.


Woo Jin yang baru beberapa langkah menapaki halaman rumah sontak tertegun, pemandangan pertama yang ia lihat adalah kobaran api yang melahap habis buku – buku sastranya. Tuan Kim dengan sorot tajam memerintah, “Ikuti aku !!!”


Woo Jin pasrah sementara Jeom Hyo memandangnya iba.


Tuan Kim melemparkan tumpukan surat Sim Deok, “Apa dia alasan kenapa selama ini kau pergi ke Gyeongseong ?!!..”

“..Demi wanita yang bernyanyi di depan pria yang tidak dikenalnya ?!!!”

“Dia berharga bagiku”, tegas Woo Jin


“Woo Jin beraninya kau ?!!!!”, sentak tuan Kim yang kemudian menarik nafas dalam – dalam, “Baiklah. Itu memang sudah biasa mendengar seorang lelaki yang main mata sebentar dengan wanita lain..”

“..Baiklah itu bisa terjadi”


“Itu bukan hanyas sebentar..”

“..Untuk waktu yang lama..”

“..Aku berusaha melupakannya tapi tidak berhasil”

“JADI ?!!! APA YANG AKAN KAU LAKUKAN ?!!”


Woo Jin yang sudah tak kenal takut menjawab dengan penuh keyakinan, “Aku akan pergi bersamanya”

“MENURUTMU DIA WANITA MACAM APA SAMPAI KAU MENGORBANKAN SEGALANYA ?!!!!!!”

Woo Jin balik meninggikan suara, “AKU BERSEDIA MENYERAHKAN APA PUN JIKA AKU BISA BERSAMA DENGANNYA”


Tuan Kim menggernyit tak habis pikir, “Rubah itu benar – benar telah menyihirmu..”

“Dengarkan aku baik – baik Woo Jin aa..”

“..Tanpa uang dariku kau akan kalah..”

“..Baik wanita itu mau pun kecintaanmu terhadap menulis..”

“..Kau telah hidup dalam kelimpahan sepanjang hidupmu..”

“..Berapa lama kau akan mampu bertahan dalam kemiskinan ?!!!..”

“..Berapa lama wanita itu akan berada di sampingmu saat kau tak punya uang ?!!...”


“Jika dia meninggalkanku karena alasan itu..”

“..Itu adalah takdirku”


Tuan Kim sudah tidak tahan dengan bantahan anaknya sontak ia berdiri akan menghampiri, tapi kakinya lemah, ia goyah hingga kembali terduduk seolah tak bertenaga.

Tuan Kim lanjut mengusirnya pergi. Sebelum meninggalkan ruang Woo Jin sempat memberi salam penghormatan terakhir.


Ternyata sedari tadi Jeom Hyo menunggui di lorong.

“Semua yang bisa aku katakan padamu hanyalah permintaan maaf..”

“..Tolong..”

“..Jangan maafkan aku”

Jeom Hyo menatap sendu. Ayah memanggil dari dalam, membentak menyuruhnya segera membakar surat – surat Sim Deok. Jeom Hyo menurut.


Woo Jin memantapkan keputusan, Jeom Hyo yang masih belum beranjak,hanya menatap pedih kepergian sang suami.