Praise of Death Episode 6 Part 1 ~ by2206am

Praise of Death Episode 6 Part 1 ~ by2206am


Ayah benar – benar tak bisa memahami perasaan sang anak. Di tengah – tengah makan malam, ia malah menyarankan Sim Deok mengambil tawaran direktur Kepolisian, “Kau bahkan akan dibayar jika menerima tawaran itu”

Ibu makin memperburuk situasi, “Jika kau setuju dengan tawaran itu, berapa banyak mereka akan membayarmu ?..”

“..Pemerintah Jepang – Korea mungkin akan membayar lebih banyak daripada yang lain”


Gi Seong yang tidak tahan menyela, “Ibu itu tindakan salah, orang Korea seharusnya tidak bernyanyi di kantor itu”

Ibu emosi, “Apa maksudmu ?!! Dia tidak menghasilkan uang di tempat lain karena rumor..”

“..Jadi kenapa tidak menerima pekerjaan ini ?!!”

“IBUUU !!!!!”


“Jangan tinggikan suaramu !! Siapa yang membayar biaya sekolahmu ?!!..”

“..Siapa yang membayar makanan yang kau makan saat ini ??”

Gi Seong memutar tubuh menghadap Sim Deok yang masih diam terpuruk, “Geun Noona... Tidak peduli betapa pentingnya bernyanyi bagimu...”

“..Jangan pernah membungkuk dengan rendah”


“Aku setuju dengan Gi Seung eonni. Jangan terima pekerjaan itu”


Ibu kembali berteriak protes, “Baik, jangan mengambilnya !!..”

“..Mulai besok kita semua akan kelaparan !!”


Sim Deok meletakkan sumpit, ia tak sanggup lebih lama berada di sana, “Aku harus berkemas karena aku akan berangkat besok pagi”

Ibu masih saja bicara, “Kau akan menerima pekerjaan itu sebelum kau pergi ?”

“IBUUUU!!!!!”


“Gi Seong sudah cukup”, tegur Seong Deok.

“Aku tidak bisa diam saja saat dia menerima pekerjaan itu !”


“Kalau begitu bawa uang ke rumah !!”, sentak ibu sementara Sim Deok mulai beranjak.

“Tetap saja dia tidak bisa melakukan hal seperti itu ibuuu !!”

“Tidak ada pilihan lagi ! Kita semua akan kelaparan jika dia tidak menerimanya !!”

“IBUUU !!!!”

Ayah yang sukar mendengar pertengkaran, mengetuk keras meja menyuruh ibu membelikan makgeolli.

“Tidak perlu membuang – buang uang !!!!”


Bukannya ke kamar untuk mengemasi barang, Sim Deok malah berdiam melamun di luar. Seong Deok menghampiri, “Eonni..”


“..Pekan depan di siang hari..”

“..Bolehkah aku bertemu denganmu di Perusahaan Rekaman Nitto di Osaka ?”

“Jangan terlambat karena aku tidak bisa rekaman tanpa iringan piano”


“Kenapa eonni tidak berangkat ke Osaka bersamaku pekan depan ? Kenapa kau harus pergi pagi – pagi besok?”

Sim Deok beralasan dirinya harus menemui seseorang terlebih dahulu.

“Begitu.. Ada surat untukmu beberapa hari lalu jadi aku meninggalkannya di kamarmu”


Sim Deok lekas ke kamar, ternyata Woo Jin si pengirim surat. Suara Woo Jin mulai terdengar.


“Aku mendengar rumor tentangmu setelah aku sampai di Tokyo..”


“..Rumor menjijikkan tentangmu tampak tidak masuk akal bagiku..”

“..Satu – satunya yang ku yakini adalah kau. Setiap kali..”

“..Aku memikirkan betapa kesepian dan tersiksanya dirimu..”

“..Sampai aku tersapu dengan penyesalan..”


Dalam flashback ditengah – tengah ia menulis surat, Woo Jin menghela nafas.

“..Aku seharusnya membawamu bersamaku..”

“..Seharusnya aku tidak membiarkanmu sendirian di sana..”


“..Cepatlah kemari, Sim Deok”

Sim Deok mulai menangis.

“Jadilah wanita yang penuh semangat seperti dulu..”

“..Jadilah wanita yang selalu tersenyum dan cepatlah datang padaku..”


Sim Deok makin terisak, ia menggenggam erat surat kiriman Woo Jin.


Di kamar sewa Woo Jin sibuk menulis sesuatu,
‘Jika aku mati, sampai hari itu...’

Bibi pelayan mengetuk memberitahunya jika ada seorang wanita yang tengah menunggu. Woo Jin sontak menyunggingkan senyum.


Namun ketika pintu dibuka ekspresinya seketika berubah, Jeom Hyo yang ada di hadapannya.


Sekarang mereka duduk berhadapan. Jeom Hyo menatap nanar ke sekeliling ruangan, “Jadi ini kehidupan yang kau datangi untuk bertahan ?..”

“..Kembalilah ke Joseon..”

Woo Jin ketus menolak.


“Ayah tak pernah makan, dia hanya menunggui suratmu yang tak kunjung datang..”

“..Dia memutuskan mengambil sendoknya lagi..”

“..Jika kau kembali menjalankan perusahaan..”

“..Meski kau tidak menulis ada orang lain yang bisa begitu,,”

“..Tapi tidak ada orang lain yang bisa menjalankan perusahaan”, pinta Joem Hyo dengan suara bergetar.

“Itu bukan urusanku lagi”


Suara Jeom Hyo makin meninggi, “Apa kau akan kembali ke Joseon hanya setelah ayah meninggal ?!!!..”

“..Apa ini tampak tidak masuk akal bagimu ?..”

“..Kau juga memahami sifat ayah sebaik diriku, jadi tidak ada yang bisa kau singkirkan..”

Woo Jin menghela nafas, Jeom Hyo melanjutkan, “Aku akan anggap bahwa kau akan kembali..”

“..Dan bersedia pulang ke rumah”.


Jeom Hyo pamit, Woo Jin ikutan beranjak, “Kau jangan terlalu berharap..”

“..Itu hanya akan sia – sia saja”


Jeom Hyo berbalik, meski perasaannya tersakiti tapi ia berusaha menghilangkan seluruh kemarahannya dan menimpali dengan penuh ketulusan, “Aku menikah denganmu bahkan tanpa bertemu denganmu..”

“..Sepanjang hidupku di keluarga ini..”

“..Aku tidak pernah menginginkan hatimu..”

“..Meski pun hatimu ada di tempat lain..”

“..Aku percaya bahwa itu adalah tugasku..”

“..Untuk mencintai dan mendukung sikap ketidak acuhanmu..”

“..Untuk pertama dan terakhir kalinya, aku membujukmu untuk mempertimbangkan kembali. Suamiku..”

“..Aku tidak memintamu menjadi seorang suami untukku. Tapi tolong..”

“..Jangan lupakan tugasmu sebagai seorang anak”


Jeom Hyo membungkuk hormat. Sepeninggalan sang istri mata Woo Jin perlahan berkaca – kaca, ia tampak tersentuh dengan ucapan tulus Jeom Hyo.